Kamis, 13 Maret 2008

Globalisasi dan Kepentingan Nasional







Globalisasi dan liberalisasi pasar yang disponsori negara-negara maju seperti AS, hanyalah menguntungkan negara-negara kuat dan memiliki kekuatan ekonomi diatas negara berkembang. Sebaliknya paket kebijakan Pasar Bebas (Free Trade Policy) hanyalah kehancuran industri kecil dan menengah seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, setelah masuknya produk Cina. Indonesia sebagai negara berkembang yang merupakan tujuan pasar negara-negara maju hanya menyerukan pengusaha kecil dan menengah agar lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas barang produksi agar dapat bersaing dengan produk impor. Akan tetapi terbatasnya modal usaha, mengakibatkan banyak pengusaha yang collaps dan akhirnya gulung tikar. Begitu juga dengan nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PLN, PERTAMINA dan IPTN yang terus merugi dan menjadi beban pemerintah dikhawatirkan akan diprivatisasi kepada pihak asing. Akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi negara yang mampu mandiri dan berdiri diatas kakiknya sendiri, karena begitu besarnya ketergantungan ekonomi kita kepada negara yang tergabung dalam IMF dan Bank Dunia.

Sebaliknya negara maju seperti AS dan Barat kini sadar bahwa nasionalisme diperlukan untuk mengamankan assetnya dari campur tangan asing. Kandidat Presiden AS Barack Obama dalam pidato kampanyenya mengatakan perjanjian North America Free Trade Agreement (NAFTA) telah membuat Ohio kehilangan sekitar 50.000 pekerjaan. Pernyataannya didukung oleh Hillary Clinton yang mengatakan pemerintah AS agar meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA yang ditandatangani pada 1993 oleh Bill Clinton. Beberapa waktu lalu,CNOOC, perusahaan minyak terbesar di China, gagal membeli perusahaan minyak UNOCA,. sebelumnya, rencana tersebut disetujui, karena CNOOC memberi penawaran dengan harga tertinggi. Pada kesempatan lain, Kongres AS juga mendukung pembatalan rencana pengelolaan pelabuhan di AS oleh perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Dubai. Di Perancis, masyarakat berdemonstrasi karena ada rencana pembelian perusahaan makanan raksasa Prancis, Danone, oleh Pepsi Cola dari AS.

Rencana perusahaan baja dari India, Mittal, untuk membeli perusahaan Luxemburg, Arcellor, juga tidak dilanjutkan. Di Jerman, Kanselir Angela Merkel menyampaikan rencana untuk membatasi kepemilikan asing pada industri strategis. Di Thailand, PM Thaksin jatuh karena menjual Shin Corp perusahaan telekomunikasi terbesar kepada Temasek Singapura. Di Venezuela dan Bolivia, Hugo Chavez dan Evo Marales dielu-elukan rakyat karena berani menasionalisasi industri tambang.

Indikasi tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme baru sedang bangkit di tengah arus deras globalisasi dan liberasi pasar. Besar kecilnya posisi tawar ditentukan oleh siapa lebih membutuhkan siapa . Mereka yang di posisi lebih membutuhkan, posisi tawarnya akan lebih lemah. Dalam hal ini, meski Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar, ternyata posisi tawarnya rendah. Persoalan ekonomi pasca krisis yang belum pulih, korupsi, utang luar negeri yang besar, dan lemahnya komitmen pemerintah untuk melakukan clean governance semakin memperlemah posisi tawar kita sehingga globalisasi dan liberalisasi pasar banyak merugikan Indonesia. Konsorsium asing seperti Freeport, PT Newmont, Caltex, British Petroleoum dll, akan terus mengeksplorasi kekayaan alam dan kita hanya dapat menyaksikannya tanpat tahu hasil keutungan yang diperoleh dari ekplorasi tersebut. Kemungkinan lain karena pemerintah terobsesi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, sehingga membutuhkan injeksi modal besar-besaran, termasuk modal asing yang harus dibuat semudah dan semenarik mungkin untuk pemasukan devisa. Bisa pula terjadi karena pemerintah mengikuti doktrin ekonomi yang keliru, yang oleh para ahli ekonomi pembangunan disebut sebagai paradigma yang salah (false paradigm) yakni dengan sesegera mungkin membuka diri melalui liberalisasi dan privatisasi besar-besaran. Itu sebabnya banyak kalangan terperanjat ketika kepemilikan modal asing di sektor perbankan diizinkan sampai maksimal 99%,atau di air minum maksimal 95%, serta di telekomunikasi maksimal 65% (Perpres No 111/ 2007). Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) bahwa sepanjang periode 2002–2007 terdapat sekitar 400 pabrik skala kecil-menengah yang tutup karena membanjirnya produk impor. Indonesia dinilai terlalu ”berani” karena di sejumlah negara pembatasannya lebih ketat. Di AS, kepemilikan asing di industri perbankan dibatasi hanya 30%.

Joseph Stiglitz (Professor di bidang ekonomi Columbia University Business School dan pernah menjadi economist a di Bank Dunia) dalam wawancaranya dengan harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007 mengatakan “Indonesia korban globalisasi”, dijelaskan bahwa menghadapi globalisasi dan liberalisasi pasar Indonesia belum siap karena masih banyak persoalan dalam negeri seperti kemiskinan, pengangguran dan lemahnya pertumbuhan ekonomi. Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor dibanding kepentingan publik. Jika dipaksakan
dikhawatirkan hanya akan manambah persoalan kemiskinan, pengangguran, krisis ekonomi berkepanjangan dan rusaknya lingkungan. Belum lama ini keluar PP nomor 2/2008 yang isinya tentang penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan hutan. Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, melalui PP tersebut pemerintah mengijinkan pengusaha untuk mengolah hutan produksi dan hutan lindung dengan sewa hanya Rp.1,3 – Rp.3 juta per tahun. PP ini menurut WALHI akan berpotensi merusak lebih dari 900 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang dilakukan oleh tiga belas perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah. Ironisnya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan Global Warming Conference pada Desember 2007 lalu, bukannya mencotohkan negara lain untuk melestarikan hutan malah membuka peluang kepada pihak asing atau swasta untuk mengekploitasi hutan tersebut hanya untuk kepentingan bisnis tanpa memikirkan dampak dari kerusahan hutan itu sendiri. Apakah ini yang dimaksud dengan globalisasi yang menguntungkan bagi kepentingan nasional? yang ada sebaliknya hanya menghancurkan bangsa.




Tidak ada komentar: