Jumat, 27 Juni 2008

Mewaspadai campur tangan asing yang memainkan isu Papua

Isu Papua masih menjadi daya tarik bagi negara asing untuk mengeksploitasinya menjadi “alat” untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia sebagaimana pernyataan Menhan Juwono Sudarsono pada 18 Juni 2008 yang menyerukan agar pemerintah pusat dan daerah agar bersama-sama membangun Papua disegala bidang guna mengantisipasi segala bentuk campur tangan asing yang berupaya mengangkat setiap isu yang berkembang di Papua dan dimanfaatkan untuk kepentingannya. Isu Papua masih menjadi “the focus of spotlight of foreign countries like Australia and Amerika”

Selain Papua, pihak asing juga mencoba mengangkat isu HAM, kemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan oleh aparat keamanan yang terjadi di propinsi lain di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah agar mewaspadai masuknya NGO/LSM asing yang memanfaatkan aspirasi rakyat setempat, ternyata dalam praktiknya memprovokasi warga setempat untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan. Pendekatan persuasif yang didasari oleh budaya setempat lebih baik daripada melakukan pendekatan represif. Keberadaan aparat TNI dan Kepolisian di Papua masih diperlukan sebagai upaya untuk menciptakan wilayah yang kondusif. Penempatan aparat TNI dan Kepolisian di Papua akan berkurang, jika kondisi keamanan dan kemampuan SDM masyarakat Papua meningkat. Alasan tersebut didasari oleh banyaknya rakyat Papua yang dengan mudah dipengaruhi oleh NGO asing untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Isu yang disuarakan selalu HAM dan kemiskinan, sebagaimana pernyataan Ketua PDI-P Tjahjo Kumolo bahwa AS memiliki kepentingan di Papua. Dan AS terus menempatkan NGO-nya USAID di Papua. Sejak dulu AS selalu menerapkan kebijakan "double standart" dalam mencampuri urusan dalam negeri Indonesia seperti yang terjadi di Timor Timur dan Aceh ketika itu. Disatu sisi mendukung keutuhan wilayah NKRI namun dilain sisi AS mencoba untuk memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.

Senin, 28 April 2008

Hikmah Dari Kontroversi Kasus Ahmadiyah

Aksi arogan kelompok yang menolak keberadaan Ahmadiyah di Sukabumi dengan membakar dan merusak simbol-simbol Ahmadiyah sangatlah tidak etis. Sebagai umat Islam yang bertaqwa dan bertoleransi seharusnya tidaklah melakukan hal-hal seperti itu. Perbedaan seharusnya biar oragnisasi Islam besar, seperti MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah, dan Nahdlatul Wathan yang menyelesaikannya. Bagaimanapun kehadiran ajaran Ahmadiyah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Islam Sejati, dan sebagainya merupakan fakta sosial yang hadir begitu rupa dan dalam kenyataannya paham-paham Islam yang dianggap menyempal atau bahkan dinyatakan sesat itu selain tetap tumbuh, juga memperoleh dukungan dari sebagian umat Islam. Sebagian orang Islam tertarik masuk dalam aliran dan paham Islam yang seperti itu, baik di kalangan orang awam maupun kaum terdidik. Hal itu menunjukkan betapa kompleksnya realitas kepemelukan Islam di negeri ini.

Perlu sikap tegas sekaligus pendekatan dakwah Islam yang lebih menyentuh dan tak sekadar pendekatan legal formal. Penolakan atau kecenderungan reaktif terhadap fatwa MUI juga perlu menjadi perhatian bagi MUI. Fatwa jangan begitu mudah dikeluarkan, tetapi harus benar-benar substansial, mendasar, kredibel, dan memenuhi hajat hidup umat secara luas. Umat memerlukan pembinaan dan ketegasan garis agar tidak menyimpang dari akidah Islam. Tetapi, pada saat yang sama juga memerlukan ruang keberagamaan lebih longgar, sejauh menyangkut wilayah furu, ijtihad, dan orientasi wilayah muamalat duniawiyah dan peradaban ke arah kemajuan. Menghadapi persoalan Ahmadiyah dan sejenisnya juga tidak perlu dengan kekerasan apa pun dalihnya karena akan merugikan citra Islam dan umat Islam itu sendiri. Keberagamaan secara tekstual dan kontekstual sungguh memerlukan aktualisasi Islam yang nyata dan mampu menjawab persoalan-persoalan besar kehidupan lebih dari sekadar perselisihan-perselisihan teologis yang tak berkesudahan. Dengan demikian, Islam dan umat Islam benar-benar mampu hadir sebagai pembawa risalah rahmatan lil-'alamin di muka bumi ini.

Senin, 21 April 2008

Keseriusan Pemerintah Indonesia Dalam Penyelesaian Papua

Dalam pertemuannya dengan Dewan Perwakilan Daerah Papua pada 18 April 2008 lalu, Presiden Bambang Yudhoyono mengatakan pihaknya sangat concern dengan persoalan sosial di Papua dan telah menginstruksikan Menkopolhukam Widodo AS untuk menyiapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan menjadikan UU Otonomi Khusus tahun 2001 sebagai guideline. Persoalan yang terjadi di Papua bukan hanya persoalan ekonomi dan politik akan tetapi bagaimana mengendalikan tuntutan dari kelompok dan sebagian elemen masyarakat Papua yang didalam maupun diluar negeri yang masih menginginkan kemerdekaan dan memisahan diri dari NKRI dan memilih wakil rakyat yang duduk di DPD, MRP dan Pemerintah Daerah yang tidak korupsi dan concern pada persoalan yang muncul di Papua. Ironis memang 7 tahun sudah Otsus diterapkan tetapi hasilnya belum menyentuh pada persoalan politik sosial dan ekonomi seperti bagaimana mengentaskan kemiskinan, memberdayakan masyarakat Papua, mewujudkan pembangunan ekonomi dan memajukan Papua agar sejajar dengan Propinsi lain di Indonesia.

Pemerintah dengan dibantu masyarakat Papua seharusnya dapat mengevaluasi Otsus guna mencari tahu letak kelemahannya sebagai evaluasi untuk menjadi masukan guna menyempurnakan Otsus tersebut. Persoalan pembangunan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan perlu mendapat prioritas selain persoalan keamanan dan HAM. Kerjasama yang baik antara Pemerintah Daerah dan Pusat dalam mengawasi dan mengevaluasi aliran dana sebesar Rp.21 trilyun diperlukan agar dana tersebut tepat pada sasaran serta menindak tegas oknum pemda yang mengkorupsi dana tersebut tanpa pandang bulu. Saya setuju dengan tindakan Gubernur Barnabas Suebu yang mengunjungi desa-desa untuk membagikan langsung bantuan sebagai wujud nyata keseriusan untuk mengentaskan kemiskinan. Karena elemen Papua yang didalam dan luar negeri hanya bisa menyalahkan pemerintah dengan selalu mengeksploitasi kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Papua untuk memojokan posisi Indonesia di luar negeri. Dana Otsus sebesar Rp.21 trilyun dan lebih besar dibanding tahun 2006 yang hanya 4,5 trilyun merupakan wujud keseriusan pemerintah pusat dalam membangun dan menyelesaikan persoalan sosial ekonomi di Papua.

Rabu, 02 April 2008

KEKHAWATIRAN TERHADAP RUU PENANAMAN MODAL ASING

Kebijakan pemerintah yang akan mengesahkan Draft RUU penanaman modal asing menjadi UU, perlu dicermati karena secara umum lebih banyak menguntungkan investor asing. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sekretariat Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), International NGOs Forum for Indonesian Development (INFID) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menolak jika RUU Penanaman modal disahkan menjadi UU.

LSM tersebut menilai pemerintah hanya memikirkan masuknya investor asing tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkannya. Selama ini, kegiatan penenaman modal yang diatur melalui UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970 dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970, telah berjalan tanpa memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional. Terlebih dalam proses pembahasan RUU Penanaman Modal dipengaruhi tekanan dari lembaga kreditor seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang mendesak agar RUU segera disahkan menjadi UU. Hal tersebut mengindikasikan adanya kepentingan Asing dalam proses penyusunan RUU Penanaman Modal tersebut.

Berikut tanggapan atas pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal yang dinilai kalangan LSM dapat berimplikasi terhadap munculnya masalah sosial antara lain :

Pertama, RUU Penanaman Modal tidak mengedepankan kepentingan nasional justru melayani internasionalisasi modal dan RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI dengan memfasilitasi modal asing menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat/warga negara Indonesia).

Kedua, RUU Penanaman Modal tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK akibat perusahaannya tutup karena pindah lokasi usahanya.

Ketiga, RUU Penanaman Modal akan memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara khususnya korporasi.

Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri seperti investasi pada pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90% akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembangkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.

Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan terhadap pelayanan tersebut.

Investor asing selama ini dinilai hanya mementingkan profit interest dan lebih banyak menuntut pemerintah RI memberikan kemudahan dalam pelayanan berbagai bentuk pajak, pembebasan lahan, bebas memindahkan modalnya kapan dan dimanapun serta bebas dari nasionalisasi, tanpa memikirkan national interest. Pemerintah seyogyanya berhati-hati sebelum mensahkannya menjadi UU mengingat kebijakan penanaman modal yang diatur oleh UU sebelumnya telah menimbulkan konflik pembebasan lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan kemiskinan. Beberapa pasal pada RUU Penanaman Modal, tidak menyebutkan adanya perlakuan antara investasi asing dan domestik, tidak adanya pembatasan penguasaan sektor publik, serta tidak adanya pengaturan investasi yang dikaitkan dengan national interest, termasuk pengaturan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, pengembangan wilayah alih teknologi hingga pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Senin, 24 Maret 2008

Pembangunan Wilayah Perbatasan

Masalah perbatasan merupakan masalah klasik dalam hubungan antar-negara. Bagi Indonesia, masalah perbatasan merupakan hal serius yang sampai sekarang belum bisa dituntaskan. Sengketa antara Indonesia dan Malaysia dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimenangi Malaysia, merupakan salah satu contoh kasus. Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mengatakan masalah perbatasan merupakan masalah serius yang mengandung ancaman dari luar terhadap keutuhan NKRI. Keinginan pihak asing untuk menduduki pulau terluar di Indonesia sangat besar, oleh karena itu, Pemerintah agar fokus pada percepatan pembangunan diwilayah perbatasan guna menghindari terulangnya kembali kasus Sipadan Ligitan.

Sesuai dengan Strategis Nasional Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang mengacu pada RPJMN 2004-2009 telah ditetapkan adanya 26 kabupaten diwilayah perbatasan yang mencakup 12 provinsi. Baik itu perbatasan darat maupun perbatasan laut, yang kesemuanya masuk dalam kategori daerah tertinggal. Untuk itu KPDT memiliki konsen yang besar terkait dengan percepatan pembagunan di wilayah perbatasan.

Harus disadari percapatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi ; (a) mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya. (b) mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya, (c) merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya, (d) mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional, (e) mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

Untuk itu dalam percepatan pembangunan daerah perbatasan diperlukan landasan atau payung hukum dalam pengelolaan kelembagaan masayarakat, serta penataan ruang daerah perbatasan. Perlu aturan main yang jelas dari pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh karenanya perlu ditetapkan Status Hukum Kawasan, dan Pembentukan Badan Pengelola. Selain itu, pendekatan kesejahteraan yang berjalan simultan dengan pendekatan keamanan perlu diterapkan dalam membangun kawasan perbatasan.

Dari aspek masyarakat juga perlu pengembangan sikap berpikir positip, agar dapat memanfaatkan ekonomi perbatasan ke arah keuntungan masyarakat lokal, atau melalui pendidikan kewirausahaan di daerah perbatasan. Hal ini bisa dilakukan dengan (1) memungsikan wilayah-wilayah potensil di kawasan perbatasan, menentukan sektor dan komoditas unggulan, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi; (2) menerapkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat di perbatasan; (3) mengembangkan lembaga-lembaga keuangan lokal (bank dan non bank) yang diatur secara profesional agar dana dari daerah ini tidak keluar dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal.

Dengan demikian, diharapkan bahwa proses percepatan pembangunan daerah perbatasan mampu membalikkan arus keuntungan kepada masyarakat perbatasan, sehingga masyarakat perbatasan dapat menjadi pusat pertahanan yang tangguh untuk membangun kawasan perbatasan itu sendiri.



Kamis, 13 Maret 2008

PULAU-PULAU TERLUAR INDONESIA

Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) terbesar didunia menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2000 memiliki 17.508 pulau yang terpencar dari Sabang Sampai Merauke. Begitu banyaknya pulau dan luasnya wilayah Indonesia, tidak seimbang dengan armada AL dan AU yang sebagian telah out of date. Peluang tersebut rentan terhadap ancaman seperti masuknya ter1orisme, penyelundupan manusia, kejahatan internasional, penyelundupan senjata dan pencurian hasil laut oleh negara asing. DKP memperkirakan kerugian yang dialami Indonesia sekitar US$5-6 milyar per tahun. Untuk itu pengamanan pulau-pulau terluar harus menjadi prioritas karena jika disepelekan dapat menjadi ancaman bagi keutuhan wilayah NKRI.

Berdasarkan PP No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (PKT) menyebutkan bahwa terdapat 183 titik dasar (TD) dengan lebih dari 50% TD berada di pulau-pulau kecil terluar atau berjumlah 92 pulau kecil. Kawasan PKT Indonesia tersebar di 20 Propinsi dengan kisaran luasan antara 0,05-200 Km2 dan sekitar 36 pulau yang berpenghuni. Permasalahan pulau-pulau kecil terluar Indonesia yang memiliki 12 pulau menurut Dishidros TNI-AL (2003) meliputi; rawan penangkapan ikan ilegal, perompakan, penyelundupan, okupasi oleh negara lain dan pengaruh Ipoleksosbud dari negara asing. Indonesia secara langsung berbatasan darat dan atau laut dengan 10 negara. Kegagalan untuk mengontrol pulau-pulau kecil terluar atau wilayah yang menjadi sumber illegal loging dan illegal fishing mengakibatkan Indonesia sulit meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia memiliki kontrol kedaulatan politik dan hukum secara efektif atas wilayah-wilayah tersebut.

Indonesia memiliki beberapa pulau terluar yang berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara yakni:

1. India di ujung utara Sumatera (dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dimana      pulau     terluarnya yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo).

2.Malaysia disepanjang Selat Malaka (berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,      Kepulauan     Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), dengan pulau yang      merupakan      titik terluar     adalah Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Anabas di      Provinsi Riau, Pulau     Sebatik di     Provinsi Kalimantan Timur).

3. Singapura disepanjang Selat Philip, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Nipa       (Provinsi      Riau).

4. Thailand dibagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman (pulau terluarnya adalah       Pulau      Rondo     (Provinsi NAD).

5.  Vietnam didaerah Laut Cina Selatan dengan pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung      (Provinsi     Riau Kepulauan, Kabupaten Natuna).

6. Philipina di daerah utara Selat Makasar, dengan pulau-pulau terluarnya adalah Pulau       Marore     dan Miangas yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara..

7. Republik Palau di daerah utara Laut Halmahera, dimana pulau terluarnya adalah Pulau     Fani,     Fanildo dan Bras (Provinsi Papua).

8. Australia disekitar selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa.

9. Timor Leste disekitar wilayah Maluku dan NTT dengan pulau terluarnya adalah P  Asutubun      (Provinsi Maluku), Pulau Batek (Provinsi NTT), Pulau Wetar (Provinsi       Maluku).

10. Sedangkan Papua Nugini hanya berbatasan darat dengan Propinsi Merauke

Meskipun Indonesia telah mendaftarkan 92 pulau terlerluar ke PBB namun kompleksitas permasalahan pulau-pulau kecil terluar akan tetap menjadi ancaman jika salah dalam penangannnya. Untuk mengurangi pencurian kekayaan laut oleh kapal asing, pemerintah telah melakukan upaya pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan di perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) melalui penerapan sistem Monitoring Controlling and Surveillance (MCS). Sistem ini terdiri atas Vessel Monitoring System (VMS) untuk memantau kapal perikanan yang beroperasi di perairan Indonesia dan ZEEI melalui pemasangan transmiter di kapal-kapal perikanan, dan didukung oleh 18 kapal patroli, 50 alat komunikasi, 600 PPNS, dan sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) di setiap wilayah. Dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2005, transmiter yang telah dipasang berjumlah sekitar 1.375 buah, sementara kelompok masyarakat pengawas yang telah terbentuk sebanyak 579 kelompok, dan diperkirakan mencapai sebanyak 650 kelompok pada tahun 2006. Selain itu, juga dilaksanakan operasi terpadu yang terdiri atas unsur-unsur Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI AL, Polair dan TNI AU, serta kelompok masyarakat pengawas, di samping gelar operasi mandiri yang dilakukan oleh DKP.

Perbaikan sistem perijinan usaha penangkapan dan penyiapan pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan juga telah dilaksanakan untuk mendukung penanggulangan illegal fishing. Sedangkan untuk Untuk meningkatkan dan mengembangkan pengelolaan potensi ekonomi pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terdepan/terluar serta pengembangan sumber daya manusianya, pada tahun 2006 telah dilakukan kegiatan penyediaan sarana dan prasarana dasar dan ekonomi, antara lain pemasangan energi listrik tenaga surya, sarana telekomunikasi telepon satelit, sarana air bersih, pengadaan sarana angkut berupa landing craft tank, dan rehabilitasi ekosistem pulau-pulau kecil, serta kegiatan inventarisasi dan penamaan pulau-pulau kecil di beberapa provinsi. Dengan upaya tersebut diharapkan masyarakat dapat bekerjasama dalam membantu pengamanan wilayah NKRI dari jarahan negara asing, sehingga kedepan keutuhan NKRI dapat terus terjaga dengan kerjasama antara masyarakat, aparat keamanan dan pemerintah daerah dan pusat.



Globalisasi dan Kepentingan Nasional







Globalisasi dan liberalisasi pasar yang disponsori negara-negara maju seperti AS, hanyalah menguntungkan negara-negara kuat dan memiliki kekuatan ekonomi diatas negara berkembang. Sebaliknya paket kebijakan Pasar Bebas (Free Trade Policy) hanyalah kehancuran industri kecil dan menengah seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, setelah masuknya produk Cina. Indonesia sebagai negara berkembang yang merupakan tujuan pasar negara-negara maju hanya menyerukan pengusaha kecil dan menengah agar lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas barang produksi agar dapat bersaing dengan produk impor. Akan tetapi terbatasnya modal usaha, mengakibatkan banyak pengusaha yang collaps dan akhirnya gulung tikar. Begitu juga dengan nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PLN, PERTAMINA dan IPTN yang terus merugi dan menjadi beban pemerintah dikhawatirkan akan diprivatisasi kepada pihak asing. Akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi negara yang mampu mandiri dan berdiri diatas kakiknya sendiri, karena begitu besarnya ketergantungan ekonomi kita kepada negara yang tergabung dalam IMF dan Bank Dunia.

Sebaliknya negara maju seperti AS dan Barat kini sadar bahwa nasionalisme diperlukan untuk mengamankan assetnya dari campur tangan asing. Kandidat Presiden AS Barack Obama dalam pidato kampanyenya mengatakan perjanjian North America Free Trade Agreement (NAFTA) telah membuat Ohio kehilangan sekitar 50.000 pekerjaan. Pernyataannya didukung oleh Hillary Clinton yang mengatakan pemerintah AS agar meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA yang ditandatangani pada 1993 oleh Bill Clinton. Beberapa waktu lalu,CNOOC, perusahaan minyak terbesar di China, gagal membeli perusahaan minyak UNOCA,. sebelumnya, rencana tersebut disetujui, karena CNOOC memberi penawaran dengan harga tertinggi. Pada kesempatan lain, Kongres AS juga mendukung pembatalan rencana pengelolaan pelabuhan di AS oleh perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Dubai. Di Perancis, masyarakat berdemonstrasi karena ada rencana pembelian perusahaan makanan raksasa Prancis, Danone, oleh Pepsi Cola dari AS.

Rencana perusahaan baja dari India, Mittal, untuk membeli perusahaan Luxemburg, Arcellor, juga tidak dilanjutkan. Di Jerman, Kanselir Angela Merkel menyampaikan rencana untuk membatasi kepemilikan asing pada industri strategis. Di Thailand, PM Thaksin jatuh karena menjual Shin Corp perusahaan telekomunikasi terbesar kepada Temasek Singapura. Di Venezuela dan Bolivia, Hugo Chavez dan Evo Marales dielu-elukan rakyat karena berani menasionalisasi industri tambang.

Indikasi tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme baru sedang bangkit di tengah arus deras globalisasi dan liberasi pasar. Besar kecilnya posisi tawar ditentukan oleh siapa lebih membutuhkan siapa . Mereka yang di posisi lebih membutuhkan, posisi tawarnya akan lebih lemah. Dalam hal ini, meski Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar, ternyata posisi tawarnya rendah. Persoalan ekonomi pasca krisis yang belum pulih, korupsi, utang luar negeri yang besar, dan lemahnya komitmen pemerintah untuk melakukan clean governance semakin memperlemah posisi tawar kita sehingga globalisasi dan liberalisasi pasar banyak merugikan Indonesia. Konsorsium asing seperti Freeport, PT Newmont, Caltex, British Petroleoum dll, akan terus mengeksplorasi kekayaan alam dan kita hanya dapat menyaksikannya tanpat tahu hasil keutungan yang diperoleh dari ekplorasi tersebut. Kemungkinan lain karena pemerintah terobsesi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, sehingga membutuhkan injeksi modal besar-besaran, termasuk modal asing yang harus dibuat semudah dan semenarik mungkin untuk pemasukan devisa. Bisa pula terjadi karena pemerintah mengikuti doktrin ekonomi yang keliru, yang oleh para ahli ekonomi pembangunan disebut sebagai paradigma yang salah (false paradigm) yakni dengan sesegera mungkin membuka diri melalui liberalisasi dan privatisasi besar-besaran. Itu sebabnya banyak kalangan terperanjat ketika kepemilikan modal asing di sektor perbankan diizinkan sampai maksimal 99%,atau di air minum maksimal 95%, serta di telekomunikasi maksimal 65% (Perpres No 111/ 2007). Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) bahwa sepanjang periode 2002–2007 terdapat sekitar 400 pabrik skala kecil-menengah yang tutup karena membanjirnya produk impor. Indonesia dinilai terlalu ”berani” karena di sejumlah negara pembatasannya lebih ketat. Di AS, kepemilikan asing di industri perbankan dibatasi hanya 30%.

Joseph Stiglitz (Professor di bidang ekonomi Columbia University Business School dan pernah menjadi economist a di Bank Dunia) dalam wawancaranya dengan harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007 mengatakan “Indonesia korban globalisasi”, dijelaskan bahwa menghadapi globalisasi dan liberalisasi pasar Indonesia belum siap karena masih banyak persoalan dalam negeri seperti kemiskinan, pengangguran dan lemahnya pertumbuhan ekonomi. Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor dibanding kepentingan publik. Jika dipaksakan
dikhawatirkan hanya akan manambah persoalan kemiskinan, pengangguran, krisis ekonomi berkepanjangan dan rusaknya lingkungan. Belum lama ini keluar PP nomor 2/2008 yang isinya tentang penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan hutan. Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, melalui PP tersebut pemerintah mengijinkan pengusaha untuk mengolah hutan produksi dan hutan lindung dengan sewa hanya Rp.1,3 – Rp.3 juta per tahun. PP ini menurut WALHI akan berpotensi merusak lebih dari 900 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang dilakukan oleh tiga belas perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah. Ironisnya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan Global Warming Conference pada Desember 2007 lalu, bukannya mencotohkan negara lain untuk melestarikan hutan malah membuka peluang kepada pihak asing atau swasta untuk mengekploitasi hutan tersebut hanya untuk kepentingan bisnis tanpa memikirkan dampak dari kerusahan hutan itu sendiri. Apakah ini yang dimaksud dengan globalisasi yang menguntungkan bagi kepentingan nasional? yang ada sebaliknya hanya menghancurkan bangsa.