Rabu, 02 April 2008

KEKHAWATIRAN TERHADAP RUU PENANAMAN MODAL ASING

Kebijakan pemerintah yang akan mengesahkan Draft RUU penanaman modal asing menjadi UU, perlu dicermati karena secara umum lebih banyak menguntungkan investor asing. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sekretariat Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), International NGOs Forum for Indonesian Development (INFID) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menolak jika RUU Penanaman modal disahkan menjadi UU.

LSM tersebut menilai pemerintah hanya memikirkan masuknya investor asing tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkannya. Selama ini, kegiatan penenaman modal yang diatur melalui UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970 dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970, telah berjalan tanpa memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional. Terlebih dalam proses pembahasan RUU Penanaman Modal dipengaruhi tekanan dari lembaga kreditor seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang mendesak agar RUU segera disahkan menjadi UU. Hal tersebut mengindikasikan adanya kepentingan Asing dalam proses penyusunan RUU Penanaman Modal tersebut.

Berikut tanggapan atas pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal yang dinilai kalangan LSM dapat berimplikasi terhadap munculnya masalah sosial antara lain :

Pertama, RUU Penanaman Modal tidak mengedepankan kepentingan nasional justru melayani internasionalisasi modal dan RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI dengan memfasilitasi modal asing menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat/warga negara Indonesia).

Kedua, RUU Penanaman Modal tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK akibat perusahaannya tutup karena pindah lokasi usahanya.

Ketiga, RUU Penanaman Modal akan memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara khususnya korporasi.

Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri seperti investasi pada pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90% akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembangkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.

Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan terhadap pelayanan tersebut.

Investor asing selama ini dinilai hanya mementingkan profit interest dan lebih banyak menuntut pemerintah RI memberikan kemudahan dalam pelayanan berbagai bentuk pajak, pembebasan lahan, bebas memindahkan modalnya kapan dan dimanapun serta bebas dari nasionalisasi, tanpa memikirkan national interest. Pemerintah seyogyanya berhati-hati sebelum mensahkannya menjadi UU mengingat kebijakan penanaman modal yang diatur oleh UU sebelumnya telah menimbulkan konflik pembebasan lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan kemiskinan. Beberapa pasal pada RUU Penanaman Modal, tidak menyebutkan adanya perlakuan antara investasi asing dan domestik, tidak adanya pembatasan penguasaan sektor publik, serta tidak adanya pengaturan investasi yang dikaitkan dengan national interest, termasuk pengaturan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, pengembangan wilayah alih teknologi hingga pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Tidak ada komentar: