Senin, 28 April 2008

Hikmah Dari Kontroversi Kasus Ahmadiyah

Aksi arogan kelompok yang menolak keberadaan Ahmadiyah di Sukabumi dengan membakar dan merusak simbol-simbol Ahmadiyah sangatlah tidak etis. Sebagai umat Islam yang bertaqwa dan bertoleransi seharusnya tidaklah melakukan hal-hal seperti itu. Perbedaan seharusnya biar oragnisasi Islam besar, seperti MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah, dan Nahdlatul Wathan yang menyelesaikannya. Bagaimanapun kehadiran ajaran Ahmadiyah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Islam Sejati, dan sebagainya merupakan fakta sosial yang hadir begitu rupa dan dalam kenyataannya paham-paham Islam yang dianggap menyempal atau bahkan dinyatakan sesat itu selain tetap tumbuh, juga memperoleh dukungan dari sebagian umat Islam. Sebagian orang Islam tertarik masuk dalam aliran dan paham Islam yang seperti itu, baik di kalangan orang awam maupun kaum terdidik. Hal itu menunjukkan betapa kompleksnya realitas kepemelukan Islam di negeri ini.

Perlu sikap tegas sekaligus pendekatan dakwah Islam yang lebih menyentuh dan tak sekadar pendekatan legal formal. Penolakan atau kecenderungan reaktif terhadap fatwa MUI juga perlu menjadi perhatian bagi MUI. Fatwa jangan begitu mudah dikeluarkan, tetapi harus benar-benar substansial, mendasar, kredibel, dan memenuhi hajat hidup umat secara luas. Umat memerlukan pembinaan dan ketegasan garis agar tidak menyimpang dari akidah Islam. Tetapi, pada saat yang sama juga memerlukan ruang keberagamaan lebih longgar, sejauh menyangkut wilayah furu, ijtihad, dan orientasi wilayah muamalat duniawiyah dan peradaban ke arah kemajuan. Menghadapi persoalan Ahmadiyah dan sejenisnya juga tidak perlu dengan kekerasan apa pun dalihnya karena akan merugikan citra Islam dan umat Islam itu sendiri. Keberagamaan secara tekstual dan kontekstual sungguh memerlukan aktualisasi Islam yang nyata dan mampu menjawab persoalan-persoalan besar kehidupan lebih dari sekadar perselisihan-perselisihan teologis yang tak berkesudahan. Dengan demikian, Islam dan umat Islam benar-benar mampu hadir sebagai pembawa risalah rahmatan lil-'alamin di muka bumi ini.

Senin, 21 April 2008

Keseriusan Pemerintah Indonesia Dalam Penyelesaian Papua

Dalam pertemuannya dengan Dewan Perwakilan Daerah Papua pada 18 April 2008 lalu, Presiden Bambang Yudhoyono mengatakan pihaknya sangat concern dengan persoalan sosial di Papua dan telah menginstruksikan Menkopolhukam Widodo AS untuk menyiapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan menjadikan UU Otonomi Khusus tahun 2001 sebagai guideline. Persoalan yang terjadi di Papua bukan hanya persoalan ekonomi dan politik akan tetapi bagaimana mengendalikan tuntutan dari kelompok dan sebagian elemen masyarakat Papua yang didalam maupun diluar negeri yang masih menginginkan kemerdekaan dan memisahan diri dari NKRI dan memilih wakil rakyat yang duduk di DPD, MRP dan Pemerintah Daerah yang tidak korupsi dan concern pada persoalan yang muncul di Papua. Ironis memang 7 tahun sudah Otsus diterapkan tetapi hasilnya belum menyentuh pada persoalan politik sosial dan ekonomi seperti bagaimana mengentaskan kemiskinan, memberdayakan masyarakat Papua, mewujudkan pembangunan ekonomi dan memajukan Papua agar sejajar dengan Propinsi lain di Indonesia.

Pemerintah dengan dibantu masyarakat Papua seharusnya dapat mengevaluasi Otsus guna mencari tahu letak kelemahannya sebagai evaluasi untuk menjadi masukan guna menyempurnakan Otsus tersebut. Persoalan pembangunan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan perlu mendapat prioritas selain persoalan keamanan dan HAM. Kerjasama yang baik antara Pemerintah Daerah dan Pusat dalam mengawasi dan mengevaluasi aliran dana sebesar Rp.21 trilyun diperlukan agar dana tersebut tepat pada sasaran serta menindak tegas oknum pemda yang mengkorupsi dana tersebut tanpa pandang bulu. Saya setuju dengan tindakan Gubernur Barnabas Suebu yang mengunjungi desa-desa untuk membagikan langsung bantuan sebagai wujud nyata keseriusan untuk mengentaskan kemiskinan. Karena elemen Papua yang didalam dan luar negeri hanya bisa menyalahkan pemerintah dengan selalu mengeksploitasi kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Papua untuk memojokan posisi Indonesia di luar negeri. Dana Otsus sebesar Rp.21 trilyun dan lebih besar dibanding tahun 2006 yang hanya 4,5 trilyun merupakan wujud keseriusan pemerintah pusat dalam membangun dan menyelesaikan persoalan sosial ekonomi di Papua.

Rabu, 02 April 2008

KEKHAWATIRAN TERHADAP RUU PENANAMAN MODAL ASING

Kebijakan pemerintah yang akan mengesahkan Draft RUU penanaman modal asing menjadi UU, perlu dicermati karena secara umum lebih banyak menguntungkan investor asing. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sekretariat Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), International NGOs Forum for Indonesian Development (INFID) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menolak jika RUU Penanaman modal disahkan menjadi UU.

LSM tersebut menilai pemerintah hanya memikirkan masuknya investor asing tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkannya. Selama ini, kegiatan penenaman modal yang diatur melalui UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970 dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970, telah berjalan tanpa memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional. Terlebih dalam proses pembahasan RUU Penanaman Modal dipengaruhi tekanan dari lembaga kreditor seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang mendesak agar RUU segera disahkan menjadi UU. Hal tersebut mengindikasikan adanya kepentingan Asing dalam proses penyusunan RUU Penanaman Modal tersebut.

Berikut tanggapan atas pasal-pasal dalam RUU Penanaman Modal yang dinilai kalangan LSM dapat berimplikasi terhadap munculnya masalah sosial antara lain :

Pertama, RUU Penanaman Modal tidak mengedepankan kepentingan nasional justru melayani internasionalisasi modal dan RUU ini bertentangan dengan konstitusi RI dengan memfasilitasi modal asing menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat/warga negara Indonesia).

Kedua, RUU Penanaman Modal tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK akibat perusahaannya tutup karena pindah lokasi usahanya.

Ketiga, RUU Penanaman Modal akan memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara khususnya korporasi.

Keempat, berpindahnya industri manufaktur ke luar negeri seperti investasi pada pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industri lain yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90% akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembangkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut.

Kelima, masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasikan akses perempuan terhadap pelayanan tersebut.

Investor asing selama ini dinilai hanya mementingkan profit interest dan lebih banyak menuntut pemerintah RI memberikan kemudahan dalam pelayanan berbagai bentuk pajak, pembebasan lahan, bebas memindahkan modalnya kapan dan dimanapun serta bebas dari nasionalisasi, tanpa memikirkan national interest. Pemerintah seyogyanya berhati-hati sebelum mensahkannya menjadi UU mengingat kebijakan penanaman modal yang diatur oleh UU sebelumnya telah menimbulkan konflik pembebasan lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan kemiskinan. Beberapa pasal pada RUU Penanaman Modal, tidak menyebutkan adanya perlakuan antara investasi asing dan domestik, tidak adanya pembatasan penguasaan sektor publik, serta tidak adanya pengaturan investasi yang dikaitkan dengan national interest, termasuk pengaturan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, pengembangan wilayah alih teknologi hingga pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).