Senin, 24 Maret 2008

Pembangunan Wilayah Perbatasan

Masalah perbatasan merupakan masalah klasik dalam hubungan antar-negara. Bagi Indonesia, masalah perbatasan merupakan hal serius yang sampai sekarang belum bisa dituntaskan. Sengketa antara Indonesia dan Malaysia dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimenangi Malaysia, merupakan salah satu contoh kasus. Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mengatakan masalah perbatasan merupakan masalah serius yang mengandung ancaman dari luar terhadap keutuhan NKRI. Keinginan pihak asing untuk menduduki pulau terluar di Indonesia sangat besar, oleh karena itu, Pemerintah agar fokus pada percepatan pembangunan diwilayah perbatasan guna menghindari terulangnya kembali kasus Sipadan Ligitan.

Sesuai dengan Strategis Nasional Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang mengacu pada RPJMN 2004-2009 telah ditetapkan adanya 26 kabupaten diwilayah perbatasan yang mencakup 12 provinsi. Baik itu perbatasan darat maupun perbatasan laut, yang kesemuanya masuk dalam kategori daerah tertinggal. Untuk itu KPDT memiliki konsen yang besar terkait dengan percepatan pembagunan di wilayah perbatasan.

Harus disadari percapatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi ; (a) mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya. (b) mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya, (c) merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya, (d) mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional, (e) mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

Untuk itu dalam percepatan pembangunan daerah perbatasan diperlukan landasan atau payung hukum dalam pengelolaan kelembagaan masayarakat, serta penataan ruang daerah perbatasan. Perlu aturan main yang jelas dari pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh karenanya perlu ditetapkan Status Hukum Kawasan, dan Pembentukan Badan Pengelola. Selain itu, pendekatan kesejahteraan yang berjalan simultan dengan pendekatan keamanan perlu diterapkan dalam membangun kawasan perbatasan.

Dari aspek masyarakat juga perlu pengembangan sikap berpikir positip, agar dapat memanfaatkan ekonomi perbatasan ke arah keuntungan masyarakat lokal, atau melalui pendidikan kewirausahaan di daerah perbatasan. Hal ini bisa dilakukan dengan (1) memungsikan wilayah-wilayah potensil di kawasan perbatasan, menentukan sektor dan komoditas unggulan, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi; (2) menerapkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat di perbatasan; (3) mengembangkan lembaga-lembaga keuangan lokal (bank dan non bank) yang diatur secara profesional agar dana dari daerah ini tidak keluar dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal.

Dengan demikian, diharapkan bahwa proses percepatan pembangunan daerah perbatasan mampu membalikkan arus keuntungan kepada masyarakat perbatasan, sehingga masyarakat perbatasan dapat menjadi pusat pertahanan yang tangguh untuk membangun kawasan perbatasan itu sendiri.



Kamis, 13 Maret 2008

PULAU-PULAU TERLUAR INDONESIA

Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) terbesar didunia menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2000 memiliki 17.508 pulau yang terpencar dari Sabang Sampai Merauke. Begitu banyaknya pulau dan luasnya wilayah Indonesia, tidak seimbang dengan armada AL dan AU yang sebagian telah out of date. Peluang tersebut rentan terhadap ancaman seperti masuknya ter1orisme, penyelundupan manusia, kejahatan internasional, penyelundupan senjata dan pencurian hasil laut oleh negara asing. DKP memperkirakan kerugian yang dialami Indonesia sekitar US$5-6 milyar per tahun. Untuk itu pengamanan pulau-pulau terluar harus menjadi prioritas karena jika disepelekan dapat menjadi ancaman bagi keutuhan wilayah NKRI.

Berdasarkan PP No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (PKT) menyebutkan bahwa terdapat 183 titik dasar (TD) dengan lebih dari 50% TD berada di pulau-pulau kecil terluar atau berjumlah 92 pulau kecil. Kawasan PKT Indonesia tersebar di 20 Propinsi dengan kisaran luasan antara 0,05-200 Km2 dan sekitar 36 pulau yang berpenghuni. Permasalahan pulau-pulau kecil terluar Indonesia yang memiliki 12 pulau menurut Dishidros TNI-AL (2003) meliputi; rawan penangkapan ikan ilegal, perompakan, penyelundupan, okupasi oleh negara lain dan pengaruh Ipoleksosbud dari negara asing. Indonesia secara langsung berbatasan darat dan atau laut dengan 10 negara. Kegagalan untuk mengontrol pulau-pulau kecil terluar atau wilayah yang menjadi sumber illegal loging dan illegal fishing mengakibatkan Indonesia sulit meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia memiliki kontrol kedaulatan politik dan hukum secara efektif atas wilayah-wilayah tersebut.

Indonesia memiliki beberapa pulau terluar yang berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara yakni:

1. India di ujung utara Sumatera (dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dimana      pulau     terluarnya yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo).

2.Malaysia disepanjang Selat Malaka (berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,      Kepulauan     Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), dengan pulau yang      merupakan      titik terluar     adalah Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Anabas di      Provinsi Riau, Pulau     Sebatik di     Provinsi Kalimantan Timur).

3. Singapura disepanjang Selat Philip, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Nipa       (Provinsi      Riau).

4. Thailand dibagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman (pulau terluarnya adalah       Pulau      Rondo     (Provinsi NAD).

5.  Vietnam didaerah Laut Cina Selatan dengan pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung      (Provinsi     Riau Kepulauan, Kabupaten Natuna).

6. Philipina di daerah utara Selat Makasar, dengan pulau-pulau terluarnya adalah Pulau       Marore     dan Miangas yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara..

7. Republik Palau di daerah utara Laut Halmahera, dimana pulau terluarnya adalah Pulau     Fani,     Fanildo dan Bras (Provinsi Papua).

8. Australia disekitar selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa.

9. Timor Leste disekitar wilayah Maluku dan NTT dengan pulau terluarnya adalah P  Asutubun      (Provinsi Maluku), Pulau Batek (Provinsi NTT), Pulau Wetar (Provinsi       Maluku).

10. Sedangkan Papua Nugini hanya berbatasan darat dengan Propinsi Merauke

Meskipun Indonesia telah mendaftarkan 92 pulau terlerluar ke PBB namun kompleksitas permasalahan pulau-pulau kecil terluar akan tetap menjadi ancaman jika salah dalam penangannnya. Untuk mengurangi pencurian kekayaan laut oleh kapal asing, pemerintah telah melakukan upaya pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan di perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) melalui penerapan sistem Monitoring Controlling and Surveillance (MCS). Sistem ini terdiri atas Vessel Monitoring System (VMS) untuk memantau kapal perikanan yang beroperasi di perairan Indonesia dan ZEEI melalui pemasangan transmiter di kapal-kapal perikanan, dan didukung oleh 18 kapal patroli, 50 alat komunikasi, 600 PPNS, dan sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) di setiap wilayah. Dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2005, transmiter yang telah dipasang berjumlah sekitar 1.375 buah, sementara kelompok masyarakat pengawas yang telah terbentuk sebanyak 579 kelompok, dan diperkirakan mencapai sebanyak 650 kelompok pada tahun 2006. Selain itu, juga dilaksanakan operasi terpadu yang terdiri atas unsur-unsur Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI AL, Polair dan TNI AU, serta kelompok masyarakat pengawas, di samping gelar operasi mandiri yang dilakukan oleh DKP.

Perbaikan sistem perijinan usaha penangkapan dan penyiapan pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan juga telah dilaksanakan untuk mendukung penanggulangan illegal fishing. Sedangkan untuk Untuk meningkatkan dan mengembangkan pengelolaan potensi ekonomi pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terdepan/terluar serta pengembangan sumber daya manusianya, pada tahun 2006 telah dilakukan kegiatan penyediaan sarana dan prasarana dasar dan ekonomi, antara lain pemasangan energi listrik tenaga surya, sarana telekomunikasi telepon satelit, sarana air bersih, pengadaan sarana angkut berupa landing craft tank, dan rehabilitasi ekosistem pulau-pulau kecil, serta kegiatan inventarisasi dan penamaan pulau-pulau kecil di beberapa provinsi. Dengan upaya tersebut diharapkan masyarakat dapat bekerjasama dalam membantu pengamanan wilayah NKRI dari jarahan negara asing, sehingga kedepan keutuhan NKRI dapat terus terjaga dengan kerjasama antara masyarakat, aparat keamanan dan pemerintah daerah dan pusat.



Globalisasi dan Kepentingan Nasional







Globalisasi dan liberalisasi pasar yang disponsori negara-negara maju seperti AS, hanyalah menguntungkan negara-negara kuat dan memiliki kekuatan ekonomi diatas negara berkembang. Sebaliknya paket kebijakan Pasar Bebas (Free Trade Policy) hanyalah kehancuran industri kecil dan menengah seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, setelah masuknya produk Cina. Indonesia sebagai negara berkembang yang merupakan tujuan pasar negara-negara maju hanya menyerukan pengusaha kecil dan menengah agar lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas barang produksi agar dapat bersaing dengan produk impor. Akan tetapi terbatasnya modal usaha, mengakibatkan banyak pengusaha yang collaps dan akhirnya gulung tikar. Begitu juga dengan nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PLN, PERTAMINA dan IPTN yang terus merugi dan menjadi beban pemerintah dikhawatirkan akan diprivatisasi kepada pihak asing. Akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi negara yang mampu mandiri dan berdiri diatas kakiknya sendiri, karena begitu besarnya ketergantungan ekonomi kita kepada negara yang tergabung dalam IMF dan Bank Dunia.

Sebaliknya negara maju seperti AS dan Barat kini sadar bahwa nasionalisme diperlukan untuk mengamankan assetnya dari campur tangan asing. Kandidat Presiden AS Barack Obama dalam pidato kampanyenya mengatakan perjanjian North America Free Trade Agreement (NAFTA) telah membuat Ohio kehilangan sekitar 50.000 pekerjaan. Pernyataannya didukung oleh Hillary Clinton yang mengatakan pemerintah AS agar meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA yang ditandatangani pada 1993 oleh Bill Clinton. Beberapa waktu lalu,CNOOC, perusahaan minyak terbesar di China, gagal membeli perusahaan minyak UNOCA,. sebelumnya, rencana tersebut disetujui, karena CNOOC memberi penawaran dengan harga tertinggi. Pada kesempatan lain, Kongres AS juga mendukung pembatalan rencana pengelolaan pelabuhan di AS oleh perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Dubai. Di Perancis, masyarakat berdemonstrasi karena ada rencana pembelian perusahaan makanan raksasa Prancis, Danone, oleh Pepsi Cola dari AS.

Rencana perusahaan baja dari India, Mittal, untuk membeli perusahaan Luxemburg, Arcellor, juga tidak dilanjutkan. Di Jerman, Kanselir Angela Merkel menyampaikan rencana untuk membatasi kepemilikan asing pada industri strategis. Di Thailand, PM Thaksin jatuh karena menjual Shin Corp perusahaan telekomunikasi terbesar kepada Temasek Singapura. Di Venezuela dan Bolivia, Hugo Chavez dan Evo Marales dielu-elukan rakyat karena berani menasionalisasi industri tambang.

Indikasi tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme baru sedang bangkit di tengah arus deras globalisasi dan liberasi pasar. Besar kecilnya posisi tawar ditentukan oleh siapa lebih membutuhkan siapa . Mereka yang di posisi lebih membutuhkan, posisi tawarnya akan lebih lemah. Dalam hal ini, meski Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar, ternyata posisi tawarnya rendah. Persoalan ekonomi pasca krisis yang belum pulih, korupsi, utang luar negeri yang besar, dan lemahnya komitmen pemerintah untuk melakukan clean governance semakin memperlemah posisi tawar kita sehingga globalisasi dan liberalisasi pasar banyak merugikan Indonesia. Konsorsium asing seperti Freeport, PT Newmont, Caltex, British Petroleoum dll, akan terus mengeksplorasi kekayaan alam dan kita hanya dapat menyaksikannya tanpat tahu hasil keutungan yang diperoleh dari ekplorasi tersebut. Kemungkinan lain karena pemerintah terobsesi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, sehingga membutuhkan injeksi modal besar-besaran, termasuk modal asing yang harus dibuat semudah dan semenarik mungkin untuk pemasukan devisa. Bisa pula terjadi karena pemerintah mengikuti doktrin ekonomi yang keliru, yang oleh para ahli ekonomi pembangunan disebut sebagai paradigma yang salah (false paradigm) yakni dengan sesegera mungkin membuka diri melalui liberalisasi dan privatisasi besar-besaran. Itu sebabnya banyak kalangan terperanjat ketika kepemilikan modal asing di sektor perbankan diizinkan sampai maksimal 99%,atau di air minum maksimal 95%, serta di telekomunikasi maksimal 65% (Perpres No 111/ 2007). Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) bahwa sepanjang periode 2002–2007 terdapat sekitar 400 pabrik skala kecil-menengah yang tutup karena membanjirnya produk impor. Indonesia dinilai terlalu ”berani” karena di sejumlah negara pembatasannya lebih ketat. Di AS, kepemilikan asing di industri perbankan dibatasi hanya 30%.

Joseph Stiglitz (Professor di bidang ekonomi Columbia University Business School dan pernah menjadi economist a di Bank Dunia) dalam wawancaranya dengan harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007 mengatakan “Indonesia korban globalisasi”, dijelaskan bahwa menghadapi globalisasi dan liberalisasi pasar Indonesia belum siap karena masih banyak persoalan dalam negeri seperti kemiskinan, pengangguran dan lemahnya pertumbuhan ekonomi. Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor dibanding kepentingan publik. Jika dipaksakan
dikhawatirkan hanya akan manambah persoalan kemiskinan, pengangguran, krisis ekonomi berkepanjangan dan rusaknya lingkungan. Belum lama ini keluar PP nomor 2/2008 yang isinya tentang penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan hutan. Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, melalui PP tersebut pemerintah mengijinkan pengusaha untuk mengolah hutan produksi dan hutan lindung dengan sewa hanya Rp.1,3 – Rp.3 juta per tahun. PP ini menurut WALHI akan berpotensi merusak lebih dari 900 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang dilakukan oleh tiga belas perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah. Ironisnya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan Global Warming Conference pada Desember 2007 lalu, bukannya mencotohkan negara lain untuk melestarikan hutan malah membuka peluang kepada pihak asing atau swasta untuk mengekploitasi hutan tersebut hanya untuk kepentingan bisnis tanpa memikirkan dampak dari kerusahan hutan itu sendiri. Apakah ini yang dimaksud dengan globalisasi yang menguntungkan bagi kepentingan nasional? yang ada sebaliknya hanya menghancurkan bangsa.